Saturday, 10 August 2013

Mencari rasa asli buah Palapa Gajah Mada

Pada saat saya mudik tahun 2013 bulan Agustus ke Banjarnegara Jawa Tengah, saya coba telusuri lewat google nama R Soebarkah, ternyata akhirnya dapat juga dalam situs milik kepolisian RI yakni museum polisi republik Indonesia. Dua tahun lalu saya coba cari lewat google, belum ada di internet. Kenapa saya mencari nama besar itu, R Soebarkah? Ayah saya bercerita bahwa bahwa beliau yang bernama lengkap R Soebarkah Reksoatmodjo memberikan kontribusi dominan nama yang saya sandang sampai saat ini. Ayah saya seorang yang asli Sumatera Selatan, tepatnya dari Pagaralam, merantau ke Jawa akhirnya dapat menyunting dara yang berdarah Slawi-Kalimantan yang tinggal di Bogor, sekitar tahun 1958. Jadi pada saat itu Mbah Soebarkah berumur 59 tahun, ketika memberi kontribusi nama kelahiran saya tahun 1961.

Ada rasa bangga diberi nama oleh orang besar, karena nama itu akan dibawa terus sampai kita menghadap ke hadirat-Nya, dan tidak terasa umur saya sudah 52 tahun. Mengingat ayah saya dinas di Lampung sampai menjelang pensiun, saya memang sudah seperti anak-anak nusantara lainnya, bergaul dengan banyak suku-suku lain yang juga mixed-up di daerah Lampung atau mungkin seluruh Sumatera. Memang menggali asal muasal kita itu selalu menarik, justru di hari-hari usia kita menjelang senja pensiun, ada kenangan indah yang akan menjadi nostalgia abadi. Pada kenyataannya kita menghadapi realitas hidup yang sebenarnya, anak cucu ketrurunan menjadi menyebar ke seluruh nusantara, dan besar kemungkinan menjauh dari tali silaturahmi. Mungkin ini sudah alamiah.

Banyak contoh, ketika Soekarno dibuang oleh Belanda di Bengkulu tepatnya sebenarnya di daerah dataran tinggi Pasemah dekat gunung Dempo, yang juga dekat dengan Pagaralam daerah asal ayah saya. Soekarno ketemu jodohnya disana dengan Ibu Fatmawati yang memberikan putera-puteri Nusantara. Itulah hakekat buah asli Palapa Gajah Mada, rasa Nusantara sejati.

Coba bayangkan, dari 8 saudara saya, ada yang dapat orang Medan dan tinggal disana, sebagian besar di Jakarta, tetapi tetap tali temali ikatan itu sudah jauh, apalagi membayangkan Jakarta sebagai kota metropolitan. Kalau dibilang apa kebanggaan menjadi cucu keturunan dari nenek moyang kita yang Nusantara? Seharusnya kita menjadi bangga menjadi rasa asli buah Palapa Gajah Mada. Karena di dalam diri saya ada 3 suku bersemayam yakni Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Janganlah menjadi penakut kehilangan unsur bahasa daerah asal, karena survival test bangsa ini adanya pada makna Sumpah Palapa Nusantara yang dikumandangkan oleh Gajah Mada hampir 700 tahun yang silam.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H, Taqobalallahu Minna Wa Minkum, Saya Memohon Maaf Lahir Serta Bathin.

Mas Mus (Banjarnegara)      

Friday, 9 August 2013

R Soebarkah Reksoatmodjo - Slawi Kab Tegal 7 November 1902


R. Soebarkah sedang menjabat sebagai Bupati Kudus pada 1946 ketika mendapat tugas menjadi direktur Sekolah Polisi Negara (SPN) di Mertoyudan, Jawa Tengah. Agresi Militer Belanda (Juli 1947) membuat kegiatan SPN terhenti. R. Soebarkah pun ditugaskan ke Yogyakarta dan membuka kembali SPN dengan menggunakan rumah peristirahatan Sri Sultan Hamengku- buwono IX di Ambarukmo, Yogyakarta.

SPN dipindahkan ke Sukabumi, Jawa Barat, pada 30 April 1950 dan R. Soebarkah ditunjuk sebagai direkturnya. R. Soebarkah membentuk dasar-dasar pendidikan kepolisian ketika pada 1951 ia mendapat tugas sebagai Kepala Bagian Pendidikan Kepolisian Negara Jawatan Kepolisian Negara dan sekretaris Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, dengan tetap menjabat sebagai direktur SPN Sukabumi. Sosok yang lahir di Slawi (7 November 1902) ini sempat menulis buku Kumpulan Buku Pelajaran Bagi Murid Agen Polisi (1954) dan menjadi pemimpin redaksi Bhayangkara (1954), majalah khusus kepolisian RI.

Sumber :


http://parakesatriapolri.blogspot.com/p/kisah.html